Kamis, 29 Desember 2011

materi ceramah

KEISTIMEWAAN BULAN MUHARROM
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Saudara-saudara kaum muslimin rahimakumullah...

Rasanya, ketika kita berbicara tentang hijrah, tentang Muharram, atau tentang tahun baru Islam, tidak ada sesuatu yang baru atau menarik bagi kita. Sekilas pandang, kita –seakan– merasa sudah terlalu pandai dalam mengenali bulan Islam yang satu ini. Benarkah demikian? Sudahkah khasanah keilmuan kita, sesuai dan memadai sebagai seorang muslim yang sejatinya mengenal dengan baik tentang bulan-bulan Islam.

Sejarah bulan Hijriah
Sejarah mencatat, manusia pertama yang berhasil mengkristalisir hijrah nabi sebagai event terpenting dalam penaggalan Islam adalah Sayidina Umar bin Al Khattab, ketika beliau menjabat sebagai Khalifah. Hal ini terjadi pada tahun ke-17 sejak Hijrahnya Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah.

Namun demikian, Sayidina Umar sendiri tidak ingin memaksakan pendapatnya kepada para sahabat nabi. Sebagaimana biasanya, beliau selalu memusyawarahkan setiap problematika umat kepada para sahabatnya. Masalah yang satu ini pun tak pelak dari diktum diatas. Karenanya, beberapa opsi pun bermunculan. Ada yang menginginkan, tapak tilas sistem penanggalan Islam berpijak pada tahun kelahiran Rasulullah. Ada juga yang mengusulkan, awal diresmikannya (dibangkitkannya) Muhammad Saw sebagai utusannyalah yang merupakan timing waktu paling tepat dalam standar kalenderisasi. Bahkan, ada pula yang melontarkan ide akan tahun wafatnya Rasulullah Saw, sebagai batas awal perhitungan tarikh dalam Islam.

Walaupun demikian, nampaknya Sayidina Umar r.a. lebih condong kepada pendapat –sayidina Ali karamallâhu wajhah-- yang meng-afdoliah-kan peristiwa hijrah sebagai tonggak terpenting ketimbang event-event lainnya dalam sejarah Islam, pada masalah yang satu ini. Relevan dengan klaim beliau: “Kita membuat penaggalan berdasar pada Hijrah Rasulullah Saw, adalah lebih karena hijrah tersebut merupakan pembeda antara yang hak dengan yang batil.

Dalam penulisan tahun Hijriah sendiri, biasa ditulis dengan karakter hurup (هـ) dalam bahasa Arab, atau (A.H.) singkatan dari Anno Hegirea (sesudah hijrah) untuk bahasa-bahasa Eropa. sedangkan untuk bahasa Indonesia biasa ditulis dengan (H.). Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 1 Muharam, bertepatan dengan 16 Juli 622 M, hari Jumat.

Yang Unik Dalam Hijriah
Nampaknya, ada sesuatu yang unik dalam kalenderisasi Islam ini. Ketika sejarah mengatakan, bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabiul Awal –bukan pada bulan Muharram--, tapi mengapa pada dataran realita, pilihan jatuh pada bulan Muharram, bukan pada bulan Rabiul Awal, sebagai pinangan pertama bagi awal penanggalan Islam.

Memang, dalam peristiwa hijrah ini Nabi bertolak dari Mekah menuju Madinah pada hari Kamis terakhir dari bulan Safar, dan keluar dari tempat persembunyiannya di Gua Tsur pada awal bulan Rabiul Awal, tepatnya pada hari Senin tanggal 13 September 622.

Hanya saja, Sayidina Umar beserta sahabat-sahabatnya menginginkan bulan Muharram sebagai awal tahun hijriah. Ini lebih karena, beliau memandang di bulan Muharramlah Nabi berazam untuk berhijrah, padanya Rasulullah Saw selesai mengerjakan ibadah haji, juga dikarenakan dia termasuk salah satu dari empat bulan haram dalam Islam yang dilarang Allah untuk berperang di dalamnya. Sehingga Rasulullah pernah menamakannya dengan “Bulan Allah”. sebagaimana sabdanya: “Sebaik-baik puasa selain dari puasa Ramadhan adalah puasa di Bulan Allah, yaitu bulan Muharram”. ( Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihya).

Ternyata keunikan awal Hijriah tidak hanya sampai di situ. Biasanya, pada hari kesepuluh dari bulan tersebut, sebagian orang dari kampung kita membuat makanan sejenis bubur yang dinamakan bubur Asyura, atau mungkin dalam bentuk lain semacam nasi tumpeng, maupun makanan lain sejenisnya, tergantung budaya masing-masing tempat dalam mengekspresikan rasa bahagianya terhadap hari Islam tersebut.

Sepertinya, yang menjadi unik bagi kita –sebagai kaum terpelajar– adalah tradisi bubur Asyura tersebut. Adakah hubungannya dengan Islam? Asyura itu sendiri terambil dari ucapan “`Asyarah”, yang berarti sepuluh. Hari Asyura, hari yang ke sepuluh dari bulan Muharram.
Islam memerintahkan umatnya untuk berpuasa sunah dan meluaskan perbelanjaan kepada
keluarganya pada hari tersebut.

Kalau kita berupaya untuk menelusuri keterangan dari junjungan kita, Rasulullah Saw, dari hadits sahihnya kita dapati, bahwa ia adalah hari yang bersejarah bagi umat Yahudi, karena pada hari itulah Allah menyelamatkan Nabi Musa a.s. serta para pengikutnya, disaat menenggelamkan Firaun.

Adapun tradisi bubur Asyura --berdasarkan riwayat dhaif--, karena pada hari itu Allah mengaruniakan nikmat yang besar kepada para nabi terdahulu, sejak zaman Nabi Adam As. hingga Nabi kita Muhammad Saw.

Konon, di hari Asyura ini, ketika Nabi Nuh As. dan para pengikutnya turun dari bahtera, mereka semuanya merasa lapar dan dahaga, sedangkan perbekalan masing-masing telah habis. Maka Nabi Nuh As. meminta masing-masing membawa satu genggam biji-bijian dari jenis apa saja yang ada pada mereka. Terkumpullah tujuh jenis biji-bijian, semuanya dicampurkan menjadi satu, lalu dimasak oleh beliau untuk dijadikan bubur. Berkat ide Nabi Nuh As., kenyanglah para pengikutnya pada hari itu. Dari cerita inilah, dikatakan sunat membuat bubur Asyura dari tujuh jenis biji-bijian untuk dihidangkan kepada fakir miskin pada hari itu.

Menurut hemat penulis, semua pada asalnya boleh-boleh saja, selagi tidak bertentangan dengan kaidah agama yang lain. Terlebih, di saat tradisi semacam ini mengandung nilai positif dan seiring (implisit) dengan ajaran Islam. Hanya saja, yang selalu ditekankan oleh junjungan kita, hendaknya manusia selalu mengenang dan mengingat hari ketika Allah menurunkan nikmat atau azab kepada manusia, agar kita semua dapat bersyukur, sadar dan insaf kepada-Nya. Mungkin sekedar inilah yang ditekankan Rasululullah Saw. berkenaan dengan hari Asyura tersebut.

Sebagaimana gejala lain terkadang kita dapati juga dari masyarakat kita –masyarakat Bekasi atau Betawi--, berkenaan dengan Muharram ini. Semacam tradisi atau bahkan keyakinan tentang tidak mau melangsungkan akad pernikahan di bulan ini. Fenomena semacam ini, apakah memang ada landasannya dalam Islam, atau hanya sekedar khurafat, bahkan mungkin karena kontaminasi dan pengaruh kultur Islam-Kejawen yang terkadang masih melekat dalam budaya Indonesia.

Muharram dalam perspektif Islam, merupakan salah satu dari empat bulan haram yang ada dalam Islam (Rajab, Zulka’dah, Zulhijjah dan Muharram). Dalam empat bulan ini, kita dilarang melancarkan peperangan kecuali dalam kondisi darurat yang tidak dapat kita elakan. Firman Allah Swt dalam surah At Taubah ayat 36: “Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah ada dua belas bulan (yang telah ditetapkan) di dalam kitab Allah ketika menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan yang dihormati. Ketetapan yang demikian itu adalah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan yang dihormati itu (dengan melanggar larangan-Nya).

Berdasarkan ayat ini, segala aktifitas kebaikan tidak ada larangannya untuk dilakukan di bulan Muharram. Demikian juga dengan bulan Rajab, Zulka’dah dan Zulhijjah. Hanya maksiat dan kezaliman saja yang dilarang lebih keras oleh Allah Swt pada bulan-bulan tersebut. Adapun aktifitas positif --semacam pernikahan--, dalam perspektif Islam adalah satu aktifitas atau amalan kebajikan, bukan maksiat dan kezaliman. oleh karenanya, tidak ada larangan dalam Islam untuk melangsungkan acara perkawinan di bulan Muharram.

Namun saya lebih melihat, bahwa ketabuan semacam ini, --barangkali-- adalah sebagai pengaruh dari doktrin Syiah. Secara kebetulan, Sayidina Hussain terbunuh di Karbala pada bulan Muharram. Karenanya masyarakat Syiah memandang bulan Muharram sebagai bulan dukacita dan bulan berkabung. Maka mereka menghukumi haram untuk melangsungkan akad dan resepsi pernikahan, atau acara suka-ria lainnya di bulan itu. Pemahaman semacam ini tersebar luas ke negara-negara Islam dan akhirnya sampai ke negara kita (wallahu a’lam).

Mengingat bahwa kalender hijriah dihitung berdasarkan rotasi bulan yang berlawanan dengan rotasi matahari, maka mengakibatkan semua hari-hari besar Islam dapat terjadi pada musim-musim yang berbeda. Sebagai contoh, musim haji dan bulan puasa, bisa terjadi pada musim dingin atau pada musim panas. Dan yang perlu diingat, hari-hari besar Islam tidak akan terjadi persis dengan musim kejadiannya, kecuali sekali dalam 33 tahun. Kita pun sering menemukan perbedaan di antara beberapa kalender hijriah yang dicetak, perbedaan tersebut terjadi dikarenakan:

Pertama, tidak ada standardisasi internasional tentang cara melihat anak bulan.
Kedua, penggunaan cara penghitungan dan proses melihat bulan yang berbeda.
Ketiga, keadaan cuaca dan peralatan yang dipakai dalam melihat anak bulan.

Dari sini, maka tidak akan ditemukan adanya program penanggalan hijriah yang 100 persen benar, sehingga proses melihat anak bulan (ru’yah) masih tetap relevan –meskipun sebenarnya dilematis-- dalam penentuan hari besar, seperti bulan puasa, Idul Fitri dan Idul Adha.

Eksistensi Hijrah
Menginterpretasikan hijrah sebagai the founding of Islamic Community seperti dideskripsikan oleh Fazlur Rahman (guru besar kajian Islam di Universitas Chicago), sepenuhnya benar dan dapat dielaborasi dalam perspektif sejarah.

Hijrah menggambarkan perjuangan menyelamatkan akidah, penghargaan atas prestasi kerja, dan optimisme dalam meraih cita-cita. Itulah sebabnya, Fazlur Rahman menyebut peristiwa hijrah sebagai marks of the beginning of Islamic calender and the founding of Islamic Community. Sebagaimana klaim seorang profesor di bidang kultur Indo-Muslim Universitas Harvard, Annemarie Schimmael, menyebut hijrah sebagai tahun (periode) menandai dimulainya era muslim dan era baru menata komunitas muslim.

Kelahiran Piagam Madinah, yang oleh Montgomery Watt disebut sebagai Konstitusi Madinah dan konstitusi modern yang pertama di dunia, adalah proklamasi tentang terbentuknya suatu ummah.

Karena hijrah bukanlah pelarian akibat takut terhadap kematian, karena tidak mung-kin Rasulullah takut terhadap kematian. Sebab jika Rasulullah Saw mempertahankan eksistensi kaum muslimin di Makkah kala itu, ini akan menyulitkan kaum muslimin itu sendiri, yang waktu itu baru berjumlah 100-an orang. Rasulullah berhijrah setelah mempersiapkan kondisi psikologis dan sosiologis di kota Madinah dengan mengadakan perjanjian Aqabah I dan Aqabah II di musim haji.

Adapun dalam mengembangkan makna hijrah untuk menarik relevansi kekiniannya, jelas tidak harus menggunakan parameter sosiologis sejarah jaman Rasulullah. Karena menarik sosiologi sejarah menjadi kemestian yang harus dilalui itu merupakan kemuskilan. Karena Rasulullah telah tiada. Jadi memaknai makna hijrah saat ini adalah dengan menarik peristiwa itu sebagai ibrah (pelajaran).

Cita-cita dari hijrah Nabi Saw adalah untuk mewujudkan peradaban Islam yang kosmopolit dalam wujud masyarakat yang adil, humanis, egaliter, dan demokratis tercermin dalam keputusan Nabi mengganti nama Yastrib menjadi Madinah, atau Madinatul Munawarah (kota yang bercahaya), yaitu kota par exellence, tempat madaniyah atau tamadun, berperadaban.

Transformasi Kebijaksanaan Sejarah
Peristiwa hijrah ke Madinah atau yang saat ini kita peringati sebagai tahun baru Hijrah (1 Muharram 1419), adalah peristiwa yang di dalamnya tersimpan suatu kebijaksanaan sejarah (sunnatullah) agar kita senantiasa mengambil hikmah, meneladani, dan mentransformasikan nilai-nilai dan ajaran Rasulullah saw (sunnatur-rasul). Setidaknya ada tiga hal utama dari serangkaian peristiwa hijrah Rasulullah, yang agaknya amat penting untuk kita transformasikan bagi konteks kekinian.

Pertama, adalah transformasi keummatan. Bahwa nilai penting atau missi utama hijrah Rasulullah beserta kaum muslimin adalah untuk penyelamatan nasib kemanusiaan. Betapa serangkaian peristiwa hijrah itu, selalu didahului oleh fenomena penindasan dan kekejaman oleh orang-orang kaya atau penguasa terhadap rakyat kecil. Pada spektrum ini, orientasi keummatan mengadakan suatu transformasi ekonomi dan politik.

Kebijaksanaan hijrah, sebagai sunnatullah dan sunnatur-rasul, di mana masyarakat mengalami ketertindasan, adalah merupakan suatu kewajiban. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, orang yang mampu hijrah tetapi tidak melaksanakannya disebut sebagai orang yang menganiaya dirinya sendiri (zhalim). sebab luasnya bumi dan melimpahnya rezeki di atasnya, pada dasarnya memang disediakan oleh Allah untuk keperluan manusia. Karena itulah, jika manusia atau masyarakat mengalami ketertindasan, Allah mewajibkan mereka untuk hijrah (QS 4: 97-100).

Tujuan dari hijrah, dalam visi al-Qur'an itu, agar manusia dapat mengenyam 'kebebasan'. Jadi tidak semata-mata perpindahan fisik dari satu daerah ke satu daerah lain, apalagi hanya sekadar untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik belaka, melainkan lebih dari itu melibatkan hijrah mental-spiritual, sehingga mereka memperoleh 'kesadaran baru' bagi keutuhan martabatnya. Hijrah Nabi ke Madinah, telah terbukti mampu mewujudkan suatu kepemimpinan yang di dalamnya berlangsung tatanan masyarakat berdasarkan moral utama (makarimal akhlaq), suasana tentram penuh persaudaraan dalam pluralitas (ukhuwah) dan pengedepanan misi penyejahteraaan rakyat (al-maslahatu al-ra'iyah).

Kedua, adalah transformasi kebudayaan. Hijrah dalam konteks ini telah mengentaskan masyarakat dari kebudayaan jahili menuju kebudayaan Islami. Jika sebelum hijrah, kebebasan masyarakat dipasung oleh struktur budaya feodal, otoritarian dan destruktif-permissifistik, maka setelah hijrah hak-hak asasi mereka dijamin secara perundang-undangan (syari'ah). Pelanggaran terhadap syari'ah bagi seorang muslim, pada dasarnya tidak lain adalah penyangkalan terhadap keimanan atau keislamannya sendiri. Bahkan lebih dari itu, pelanggaran terhadap hak-hak aasasi yang telah dilindungi dan diatur dalam Islam, akan dikenai hukum yang tujuannya untuk mengembalikan keutuhan moral mereka dan martabat manusia secara universal.

Nilai transformatif kebudayaan berasal dari ajaran hijrah Rasulullah, dengan demikian pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan keutuhan moral dan martabat kemanusiaan secara universal (rahmatan lil-'alamiin). Mengenai apa saja martabat kemanusiaan atau hak-hak asasi --yang merupakan pundamen utama suatu kebudayaan-- yang dilindungi Islam, al-Qur'an telah menggariskan pokok-pokoknya seperti perlindungan fisik individu dan masyarakat dari tindakan badani di luar hukum, perlindungan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, perlindungan keluarga dan keturunan, perlindungan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, perlindungan untuk menyatakan pendapat dan berserikat dan perlindungan untuk mendapatkan persamaan derajat dan kemerdekaan.

Ketiga, adalah transformasi keagamaan. Transformasi inilah, yang dalam konteks hijrah, dapat dikatakan sebagai pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah. Persahabatan beliau dan persaudaraan kaum Muslimin dengan kaum Yahudi dan Nasrani, sesungguhnya adalah basis utama dari misi (kerisalahan) yang diemban Rasulullah. Dari sejarah kita mengetahui, bahwasanya yang pertama menunjukkan 'tanda-tanda kerasulan' pada diri Nabi, adalah seorang pendeta Nasrani yang bertemu tatkala Nabi dan pamannya Abu Thalib berdagang ke Syria. Kemudian pada hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), kaum muslimin ditolong oleh raja Najasy. Dan pada saat membangun kepemimpinan Madinah, kaum muslimin bersama kaum Yahudi dan Nasrani, bahu-membahu dalam ikatan persaudaraan dan perjanjian. Karena itulah, pada masa kepemimpinan Nabi dan sahabat, Islam secara tertulis mengeluarkan undang-undang yang melindungi kaum Nasrani dan Yahudi. Wallahu ‘l hâdi ilâ sabîlirrasyâd!

Menyongsong Tahun Baru Hijriyah
"Dan katakanlah! Beramallah maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui hal yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS: At-Taubah:105)

Tidak terasa umur kita bertambah satu tahun lagi. Itu berarti jatah hidup kita berkurang dan semakin mendekatkan kita kepada rumah masa depan, kuburan. Pelajaran yang terbaik dari perjalanan waktu ini adalah menyadari sekaligus mengintrospeksi sepak terjang kita selama ini. Kita punya lima hari yang harus kita isi dengan amal baik. Hari pertama, yaitu masa lalu yang telah kita lewati apakah sudah kita isi dengan hal-hal yang dapat memperoleh ridho Allah? Hari kedua, yaitu hari yang sedang kita alami sekarang ini, harus kita gunakan untuk yang bermanfaat baik dunia maupun akhirat. Hari ketiga, hari yang akan datang, kita tidak tahu apakah itu milik kita atau bukan. Hari keempat, yaitu hari kita ditarik oleh malaikat pencabut nyawa menyudahi kehidupan yang fana ini, apakah kita sudah siap dengan amal kita? Hari kelima, yaitu hari perhitungan yang tiada arti lagi nilai kerja atau amal, apakah kita mendapatkan rapor yang baik, dimana tempatnya adalah surga, atau mendapat rapor dengan tangan kiri kita, yang menunjukan nilai buruk tempatnya di neraka. Pada saat itu tidak ada lagi arti penyesalan. Benar sekali kata seorang ulama besar Tabi'in, bernama Hasan Al-Basri, "Wahai manusia sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari, setiap hari berkurang, berarti berkurang pula bagaianmu." Umar bin Khatab berkata, "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab." Wallahu a'lam bishshowab...
Saya akhiri,
Billahi taufik wal hidayah.... Hadanallahu wa'iyyakum ajma'in... akhiran... aqulu lakum...
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Sumber :(Marhadi Muhayar, Lc., M.A. 2007. http://makalah-artikel.blogspot.com/2007/11/ceramah-bulan-muharram-tahun-baru-islam.html)

tafsir tarbawy


Terjemah
Maroqil ‘Ubudiyah
Syarah Bidayah Al-Hidayah
Diajukan untuk memenuhi tugas mandiri
Mata kuliah Tafsir Tarbawy
Dosen: Saefudin, M.Ag.


Oleh:

Fauziah
1410160052
Biologi B / III (tiga)





JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
Jln. Perjuangan By. Pass Sunyaragi Cirebon
2011
IDENTITAS BUKU

Judul Buku                   : Maroqil’Ubudiyah
Nama Pengarang          : Muhammad Nawawi Al-Jawi
Penerbit                        : Mutiara Ilmu
Tahun Terbit                 : 2010
Jumlah Halaman            : 254
Cover                           : Berwarna merah muda keunguan terdapat motif dan terdapat kaligrafi tentang judul bukunya.






















A.  PENDAHULUAN
Ketahuilah bahwa agama memiliki dua ketentuan. Meninggalkan perbuatan-perbuatan terlarang dan melakukan ketaan. Meninggalkan perbuatan terlarang lebih berat dan lebih sulit dari pada melakukan ketaan. Oleh karena itu pahalanya lebih besar. Karena ketaan dapat dilakukan oleh setiap orang sedangkan meninggalkan syahwat tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang-orang yang benar. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui hujjah-hujjah dan ayat-ayat serta membersihkan hati dan melakukan riyadhah menuju puncak Irfan hingga mengetahui segala sesuatu dan memberitahukannya menurut apa adanya.
Oleh karena itu Rasullah SAW bersabda : “Muhajir itu orang  yang meninggalkan keburukan sedangkan mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya.”
Dalam riwayatnya Tirmidzi dan Ibnu Hibban : “Muhajir ialah orang yang berjihad melawan nafsunya, yakni menekan nafsunya yang buruk untuk melakukan ketaatan dan menjahui maksiat. Jihad melawan hawa nafsu adalah puncak dari senua jihad, karena bila ia tidak bias memerangi, maka ia pun tidak bisa memerangi musuh.
Dan, ketahuilah bahwa seseorang yang tidak akan pernah berpisah dengan Tuhannya baik dalam perjalanan, di waktu tidur dan jaga, bahkan di masa hidup dan kematian di dunia ini. Dia adalah Tuan, Pemimpin dan Penciptanya, dimana ia mengingat-Nya dengan lisan atau hatinya, maka Dia adalah teman dudukmu. Dalam hadis qudsi Allah SWT berfirman:”Aku adalah teman duduk orangyang menyebut-Ku.”
Allah SWT berfirman:”hai hamba-Ku, Aku tergantung pada sangkaanmu terhadap-Ku dan aku menyertaimu dengan taufik atau Aku menyertai dengan pengetahuan-Ku ketika engkau menyebut-Ku sehingga Aku mendengar apa yang engkau katakana dan mengabulkan doamu.”
Ini dan semacamnya adalah mengenai dzikir dalam keadaan sadar, bukan keadaan lalai.
Oleh karena itu, dalam hal ini membatasi pembahasan yang akan dibahas, yaitu hanya membahas tentang menjauhi perbuatan maksiat dan adab bergaul dengan Al-Khaliq.

B.  PEMBAHASAN
1.    Menjauhi Perbuatan Maksiat
Ketahuilah bahwa sesungguhnya engkau mendurhakai Allah dengan anggota tubuhmu yang merupakan nikmat dari Allah atas dirimu serta amanat padamu yang harus engkau pelihara dari perbuatan yang dilarang Allah.
Anggota tubuhmu akan mengungkapkan semua keburukan dengan lisan itu dihadapan orang banyak.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nur ayat 24:

‘’Pada hari dimana lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas apa yang mereka kerjakan.’’ Yakni berupa perkataan dan perbuatan darihari kiamat. Pada hari itu Allah SWT akan memberi mereka balasan yang sebenarnya.
Dalam surat yang lain Allah SWT berfirman:

‘’Pada hari ini kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada kami tangan mereka dan member kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.’’ (QR. Yaa-Siin: 65)
Setiap anggota menceritakan apa yang pernah dilakukannya. Mengenai cara penutupan mulut mereka ada dua pendapat. Yang terkuat adalah pendapat bahwa Allah SWT membungkam mulut mereka dan menjadikan anggota tubuh mereka berbicara, lalu bersaksi atas diri mereka sedangkan itu adalah mudah dalam kekuasaan Allah SWT adapun pembungkaman mulut, maka sudah jelas.
Pendapat lain ialah mereka tidak mengucapkan sesuatu apa pun, karena mereka tidak mempunyai uzur dan tabir mereka telah tersingkap. Maka mereka berdiri dengan kepala tertunduk tidak bisa mengajukan uzur dan tidak bisa menyatakan tobat.
Pembicaraan tangan-tangan adalah nampaknya kejadian yang tidak bisa diingkari. Yang shahih adalah pendapat pertama. Demikian disebutkan dalam As-Siraajul Munir.
Oleh sebab itu, hai manusia yang miskin, peliharalah seluruh enggota badanmu dari maksiat, terutama anggota-anggota yang tujuh. Karena neraka mempunyai tujuh lapisan dan setiap lapisan mempunyai bagian tertentu.
Ibnu Juraij berkata: ”Neraka mempunyai tujuh lapis. Lapis pertama adalah Jahannam, kedua Ladha, ketiga Al-Huthamah, keempat As-Sa’ir, kelima Saqar, keenam Al-Jahiim, dan ketujuh Al-Haawiyah.
Pengkhususan jumlah ini adalah karena penghuninya terdiri dari tujuh golongan. Dan jumlah itu sesuai dengan tujuh anggota badan, yaitu mata, telinga, lidah, kemaluan, tangan, dan kaki, karena semua itu adalah sumber perbuatan-perbuatan dosa.

2.    Adab Bergaul Dengan Al-Khaliq
Allah SWT berfirman:




“Hai anak adam, jika engkau menyebut-Ku dalam keadaan sendiri, maka Aku menyebutmu dalam keadaan sendiri. Jika engkau menyebut-Ku dalam suatu majelis, maka Aku menyebutmu dalam majelis yang lebih baik darinya. Jika engkau mendekat dari-Ku sehasta, maka Aku mendekat darimu sedepa. Dan jika engkau mendatangi Aku dengan berjalan, maka Aku mendatangimu dengan berlari.”
Artinya ialah jika engkau menyebut Allah dengan diam-diam secara ikhlas dan menjauhi riya’, maka Allah segera memberimu pahala sesuai dengan amalmu. Jika engkau menyebut Allah dalam sekelompok orang untuk membanggakan dan mengagungkan-Nya di antara para makhluk-Nya, maka Allah akan menyebutkmu di antara para malaikat yang didekatkan dan arwah para rasul untuk membanggakanmu dan mengagungkan derajatmu. Dan jik engkau mendekat kepada Allah dengan ijtihad dan ikhlas dalam mentaati-Nya, maka Allah pun menambah ganjarannya.
Demikian disebutkan oleh Al-Azizi. Bilamana patah hatimu dan sedih atas kecerobohanmu mengenai hak agamamu, maka Dia adalah temanmu dan pendampingmu. Karena Allah SWT berfirman dlam hadist Qudsi:”Aku menyertai orang-orang yang patah hatinya demi Aku.”
Yakni Allah bersama orang-orang yang khusyuk dengan taufik karena kecerobohan dalam melakukan ketaatan dan melakukan maksiat. Andaikata engkau mengenai Allah dengan sebenarnya, niscaya engkau menjadikan-Nya sebagai teman dan mengesampingkan orang-orang.
 Adab bergaul dengan Allah SWT ada empat belas:
1.      Menundukkan kepala dan merendahkan pandangan
2.      Memusatkan perhatian kepada Allah
3.      Memperbanyak diam disertai dengan dzikrullah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:”Hendaklah engkau banyak diam, karena hal itu bisa mengusir syetan.”
4.      Menenangkan anggota badan dari gerakan yang sia-sia. Karena pada waktu itu dituntut khusyuk, tunduk dan kehadiran hati bersama Allah SWT.
5.      Segera mematuhi perintah
6.      Menjauhi larangan
7.      Sedikit menyanggah takdir
8.      Senantiasa berdzikir, yakni dengan lisan dan hati
9.      Selalu memikirkan tentang nikmat Allah dan keagungan-Nya
10.  Mengutamakan kebenaran di atas kebatilan
11.  Tidak mengandalkan manusia dalam segala keperluan, baik di waktu bepergian maupun di dalam kota, karena manusia tidak bisa memberikan manfaat dan tidak menimbulkan bahaya (tanpa kehendak Allah)
12.  Tunduk disertai rasa takut kepada Allah
13.  Bersedih disertai rasa malu kepada Allah SWT atas kecerobohan dalam ibadah
14.  Tidak mengandalkan siasat dalam mencari penghasilan karena percaya pada jaminan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melata (yakni makhluk bernyawa) pun dibumi, melainkan Allah member rezekinya.” (QS. Huud: 6)
  
C.  GAGASAN PENULIS
Buku Maroqil ‘Ubudiyah adalah sebuah kitab terjemahan dari kitab syarah Maraqil Ubudiyah ‘alaa Matni Bidayatil Hihadah karya Muhammad Nawawi Al-Jawi, sedangkan kitab Bidayatil Hidayat sendiri merupakan karya Imam Al-Ghazali. Maka kitab ini merupakan penjelasan dari Bidayatil Hidayah yang mengurai secara rinci dan menerangkan setiap bab yang terdapat dalam kitab tersebut.
Isinya adalah mengenai taharah dan shalat, hakikat puasa, penjagaan anggota-anggota tubuh dari berbagai maksiat, tuntunan pergaulan antara manusia dengan Al-Khaliq dan sesama Muslim, adab orang alim, adab anak terhadap orang tua serta adab-adab yang lainnya yang patut diamalkan oleh setiap muslim.
Sesungguhnya kitab ini, merupakan kumpulan dari perkataan para ulama yang mulia sesuai dengan apa yang ditunjukkan Allah kepadanya.



D.  KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN
a.      Keunggulan Buku
Buku ini menjelaskan secara jelas bagaimana kita sebagaimana manusia apalagi umat Muslim memahami kedudukan hidup kita. Buku ini juga menjelaskan bagaimana taharah dan shalat yang benar menurut islam, serta hakikat puasa, penjagaan anggota-anggota tubuh dari berbagai maksiat, tuntunan pergaulan antara manusia dengan Al-Khaliq dan sesama Muslim, adab orang alim, adab anak terhadap orang tua serta adab-adab yang lainnya yang patut diamalkan oleh setiap muslim.

b.      Kelemahan buku
Dalam penyampaian isi yang diterjemahkan dari kitab Bidayatil Hidayat ini kurang jelas dimengerti karena banyak kata-kata yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan dan susunan kalimat pada buku ini kurang rapih.

E.   KESIMPULAN
Perbuatan maksiat sesungguhnya engkau mendurhakai Allah dengan anggota tubuhmu yang merupakan nikmat dari Allah atas dirimu serta amanat padamu yang harus engkau pelihara dari perbuatan yang dilarang Allah.
Anggota tubuhmu akan mengungkapkan semua keburukan dengan lisan itu dihadapan orang banyak.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nur ayat 24:

‘’Pada hari dimana lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas apa yang mereka kerjakan.’’ Yakni berupa perkataan dan perbuatan darihari kiamat. Pada hari itu Allah SWT akan memberi mereka balasan yang sebenarnya.
Oleh sebab itu, Hai manusia yang miskin, peliharalah seluruh enggota badanmu dari maksiat, terutama anggota-anggota yang tujuh. Karena neraka mempunyai tujuh lapisan dan setiap lapisan mempunyai bagian tertentu.
Adab bergaul dengan Al-Khaliq yaitu menundukkan kepala dan merendahkan pandangan, memusatkan perhatian kepada Allah, memperbanyak diam disertai dengan dzikrullah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:”Hendaklah engkau banyak diam, karena hal itu bisa mengusir syetan.”, menenangkan anggota badan dari gerakan yang sia-sia. Karena pada waktu itu dituntut khusyuk, tunduk dan kehadiran hati bersama Allah SWT, segera mematuhi perintah, menjauhi larangan, sedikit menyanggah takdir, Senantiasa berdzikir, yakni dengan lisan dan hati, selalu memikirkan tentang nikmat Allah dan keagungan-Nya, mengutamakan kebenaran di atas kebatilan, tidak mengandalkan manusia dalam segala keperluan, baik di waktu bepergian maupun di dalam kota, karena manusia tidak bisa memberikan manfaat dan tidak menimbulkan bahaya (tanpa kehendak Allah), tunduk disertai rasa takut kepada Allah, bersedih disertai rasa malu kepada Allah SWT atas kecerobohan dalam ibadah, dan tidak mengandalkan siasat dalam mencari penghasilan karena percaya pada jaminan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melata (yakni makhluk bernyawa) pun dibumi, melainkan Allah member rezekinya.” (QS. Huud: 6)